Menyusuri
kehidupan masa lampau dengan suguhan budaya megalit masih menjadi idola untuk
disambangi. Dialah Pulau Nias. Pulau yang berada di tengah Samudera Hindia yang
luas itu menyuguhkan budaya zaman batu kuno yang mengagumkan.
|
Rumah adat Nias di Desa Tumori |
Tim Indonesia Diversity kali ini mendapatkan
kesempatan untuk mengunjungi sekaligus menceritakan Pulau Nias dengan suguhan
zaman batu kuno (batu megalit) yang masih ada hingga sekarang. Tim terdiri dari
Pendra dan Heddy. Ditemani seorang guide bernama Yafa yang juga pegawai negeri sipil di Dinas Pariwisata
Provinsi Nias. Nias
(bahasa Nias disebut Tano Niha) adalah sebuah pulau yang terletak di sebelah
barat pulau Sumatera, Indonesia. Pulau ini dihuni oleh mayoritas suku Nias (Ono
Niha) yang masih memiliki budaya megalitikum. Pulau dengan luas wilayah 5.625
km² ini berpenduduk 700.000 jiwa.
Nias saat ini telah dimekarkan menjadi empat kabupaten dan satu kota, yaitu
Kabupaten Nias, Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Nias Barat, Kabupaten Nias
Utara, dan Kota Gunungsitoli. Ibukotanya Gunungsitoli dapat ditempuh dengan
perjalanan laut dari Sibolga selama lebih kurang 10 jam, atau dengan perjalanan
udara dari Medan dengan waktu tempuh sekitar 50 menit. Untuk harga tiket
sendiri jika lewat pelabuhan hanya Rp. 100.000. Dan untuk tiket pesawat udara
Rp. 400.000 – 600.000. Untuk memudahkan tour wisata, kami ikut tour and travel.
Transportasi umum di Nias masih minim. Di Bandara Binaka ada banyak parkir
mobil pribadi yang direntalkan dengan tujuan Nias Selatan dan Nias Utara.
Sebenarnya, ada angkutan umum yang tersedia. Namun, susahnya adalah ketika
ingin mengunjungi Bawomataluo (rumah adat dan loncat batu) angkutan umum akan
berhenti di terminal kota Bawomataluo. Dan harus dilanjutkan kembali dengan
sepeda motor menuju wisata megalitikum Bawomataluo. Jika dari Bandara
perjalanan kurang lebih sekitar 3 jam. Tambahan waktu dari pusat kota
Bawomataluo menuju wisata megalitikum sekitar 8 menit lagi. Untuk tarif
ongkosnya sendiri Rp 90.000 untuk mobil dan Rp. 40.000 untuk sepeda motor. Jika
dengan mobil yang direntalkan bisa langsung menuju wisata megalit dengan
tambahan ongkos dari tarif normal.
|
Saat mendarat di Bandara Binaka |
Keberangkatan tim ke Nias dimulai tanggal 3
Juni 2015 via udara dengan maskapai penerbangan Wings air. Ketika pilot memberitahukan
akan segera landing, keindahan Pulau Nias sudah terlihat. Dengan ketinggian
sekitar 1500 kaki, kelihatan bibir pantai dan warna laut biru muda. Sehingga
nampak jelas dasar laut dan tentu semakin menambah daya tarik kami untuk segera
menginjakan kaki dibibir pantai. Ada tiga warna terlihat dekat bandara Binaka
dilihat dari atas pesawat. Perbedaan warna tersebut ternyata berdasarkan objek
dasar laut dan kedalaman laut.
Untuk hari pertama ini Yafaowoloớ Gea,
selaku guide kita dari Go Nias Travel, mengajak kami untuk mengunjungi rumah
adat Nias di Desa Tumori. Perjalanan dari desa Tumori dapat ditempuh sekitar 20
menit dari Bandara Binaka. Desa Tumori searah dengan kota Gunung Sitoli. Sepanjang
perjalanan rumah penduduk terlihat berderet disebelah kanan dan kiri. Ketika
tiba di Desa Laowomaru singgahlah sebentar disana. Tepat dipinggir jalan
tersebut ada sebuah daratan yang menjorok kelaut sekitar 8 km dari gunung
sitoli. Konon, ada cerita legenda yang berkembang di masyarakat Nias. Yaitu seorang
sakti mandraguna bernama Laowomaru. Ia adalah seorang perompak yang sangat
terkenal. Ia memiliki keinginan untuk menyatukan daratan Nias dengan daratan Sibolga. Caranya adalah
melalui kekuatan magis ia menarik daratan Nias menuju daratan Sibolga. Ia
kemudian bertapa untuk menambah kekuatan saktinya. Namun dibalik keinginannya
itu, ada sebuah syarat yang harus ia penuhi. Yaitu selama menarik daratan pulau
Nias, ia dilarang menoleh kebelakang sampai daratan Nias dan Sibolga menyatu.
Namun, ia gagal dikarenakan anaknya sendiri memanggilnya. Begitulah cerita yang
berkembang di masyarakat Nias hingga sekarang.
|
Tugu Desa Tumori sebagai ucapan selamat datang
|
Perjalanan selanjutnya kita menuju Desa
Tumori. Berada di kaki bukit pegunungan dengan jalan berkelok dan tanjakan Yafa
terlihat gesit menyetir. Lebar jalan hanya bisa satu mobil dan sisanya sepeda
motor. Ketika berpapasan dengan mobil didepannya, Bang java berhenti dan
mengambil bahu jalan sehingga kedua mobil bias lewat. Dan tim akhirnya tiba setelah
menempuh sekitar 30 menit dari bandara Binaka Gunung Sitoli. Di desa ini
masyarakat sangat ramah dengan kaum pendatang. Kamipun langsung berkata
Ya’ahowu sebagai salam khas Nias dan
masyarakat membalas salam tersebut. Kami sempat mengabadikan Gapura selamat datang
Di desa Tumori. Dari gapura tersebut menuju rumah adat sekitar 800 meter. Dari
informasi bang Java, rumah adat di desa tumori tinggal 10 yang terawat.
Selebihnya bangunan modern sebagai tempat tinggal. Bahkan rumah adat yang
memiliki tinggi sekitar 2 meter dari tanah tersebut sudah tercampur dengan
bangunan modern dibelakang rumah adat. Kita sempat bertemu dan bercengkrama
dengan Pak Amakari penduduk setempat. Ia terlihat sedang memasak daging babi
yang diperuntukan sebagai jamuan anggota keluarga dalam rangka musyawarah
pernikahan anaknya. Daging babi memiliki peranan penting dalam adat istiadat Nias.
Dahulu, ketika raja memerintahkan rakyatnya untuk bergotong royong, sebagai rasa terima kasih, raja menjamu
mereka dengan daging babi. Inilah yang menjadi warisan adat istiadat setempat.
Begitu juga ketika ada masyarakat yang akan menikahkan saudaranya. Sudah
menjadi tanggungjawab penyelenggara pesta untuk menghidangkan makanan tersebut
kepada tamu.
Rumah
Omo Hada
|
Tampilan dalam rumah adat Desa Tumori. Sedikit mengalami perubahan
kekinian |
Di Desa Tumori kami berkunjung kerumah
Sudirman Zebua. Ia adalah generasi keempat yang tinggal di rumah adat Nias. Rumah
tersebut sudah turun menurun ditempati. Kami sempat mengabadikan arsitektur
rumah adat Nias. Dilihat secara keseluruhan, rumah adat Nias terbuat dari kayu,
daun Rumbia, dan Rotan. Fondasi dibangun secara menyilang dan tegak. Posisi
kayu fondasi untuk bagian pinggiran dibuat tegak dan tengahnya berada dalam
posisi silang. Ini dimaksudkan agar bangunan terlihat kokoh. Fondasi tesebut
tidak ditanam. Hanya berada diatas tanah/batuan. Sebagai penyokong utama
bangunan lantai dan atap, dipergunakan dua batang kayu keras yang ada di Nias. Orang
Nias menyebutnya Kayu Trembesi (Manawa). Lalu disetiap sudut rumah ditopang 4 kayu
Simalambuo. Perbedaan kedua kayu tersebut terlihat dari teksturnya. Kayu trembesi
berbentuk bulat asli sedangkan kayu simalambuo bulat hasil kreasi tangan. Terlihat
ada bekas ketam untuk membuat kayu tersebut bulat. Untuk tinggi kayu penopang sekitar 6 meter.
Atap terbuat dari daun rumbia dengan rotan
sebagai pengikatnya. Atap rumah terlihat sudah tertutup di rumah Sudirman Zebua
karena sudah mengalami kombinasi klasik dan modern. Seharusnya atap rumah
langsung terlihat dan berbentuk kerucut. Untuk pencahayaan, rumah di beri
lawa-lawa (sejenis jendela). Penambahan
bangunan tidak hanya sebatas menambah atap. Namun, bangku/tempat duduk
dipinggiran dinding tidak seharusnya dibuat. Bangku tersebut menghilangkan
kesan bahwa dulunya lantai itu memang dibuat tingkatan. Tingkatan pertama
disebut Tuhenori (Golongan bangsawan). Tingkatan kedua disebut Sanaro/Sanuờ.
Dan terakhir Nihambanua (Perempuan dan budak). Setelah puas menikmati suasana
dalam rumah adat Nias, kami segera meninggalkan Desa Tumori.
Perjalanan selanjutnya juga masih
mengeksplor daratan Nias. Yafa mengajak kami untuk melihat Desa Siwahili.
Perjalanan menuju desa ini sekitar 8 menit dari desa Tumori. Disini juga masih
terdapat rumah adat Nias Omo Hada berjumlah 5 rumah. Informasi dari Yafa,
penduduk disini masih kurang welcome terhadap turis yang datang. Usut punya
usut, penduduk desa merasa dikesampingkan oleh pemerintah. Menurut mereka,
pemerintah pilih kasih dalam memberi bantuan subsidi rumah. Jadi mereka acuh
tak acuh terhadap turis yang datang. Kami hanya mengitari kawasan desa sambil
mengambil gambar dari dalam mobil.
Museum
Pustaka Nias Gunung Sitoli
|
Tampilan
depan Museum Pustaka Nias di pusat kota
Gunung Sitoli
|
Selesai
dengan wisata rumah adat, kami langsung menuju Museum Pustaka Nias di pusat
kota Gunung Sitoli. Museum ini merupakan wisata pengetahuan bagi penikmat
sejarah. Untuk memasuki museum harus membayar retribusi masuk sebesar 5.000
rupiah. Dan tambahan Rp. 5.000 jika ingin masuk dalam Museum Pustaka. Museum
pustaka memiliki 4 bilik kamar berbentuk segi lima. Ruangan pertama adalah
ruang resepsionis sekaligus artefak kebudayaan Nias. Mulai dari rumah adat
Nias, pakaian adat, alat musik dan senjata perang. Masuk ke bilik 2 disuguhkan hasil
ukiran patung-patung dari kayu. Bilik ketiga berisi gambar kedatangan
misionaris Belanda ketika menyebarkan agama Kristen. Dan terakhir berisi replika
batu megalit hasil ukiran berupa patung-patung sebagai bentuk kepercayaan zaman
dahulu.
Di
museum tidak hanya melulu disajikan sejarah dan pernak pernik masa lampau.
Museum menyajikan pemandangan laut dengan deburan ombak di bibir pantai. Sangat
menyejukkan. Tempat ini juga menjadi destinasi wisata Nias khususnya Gunung Sitoli.
Letak Museum yang berada di pinggir pantai dikelola cukup baik sehingga ada
fasilitas berupa joglo yang dibangun dekat pinggir pantai. Selain itu, ad
minizoo disebelah kiri ketika mengarah masuk museum. Hewan yang bisa dilihat
adalah kijang, rusa, buaya, monyet, orang utan. Hewan tersebut adalah sumbangan
dari masyarakat sekitar ketika menemukan hewan tersebut.
Museum
yang berada di bibir pantai dengan fasilitas tempat duduk seperti joglo
dimanfaatkan muda-mudi, dan juga orang berkeluarga. Salah satu penjaga rumah
adat Nias dilokasi, Berkat, menuturkanpengunjung akan ramai datang di hari sabtu
dan minggu. “Kebanyakan memang datang menikmati deburan ombak dan tiupan angin
laut disini.” Jelasnya.
Saya
sempat singgah di replika rumah adat Nias. Rumah adat tersebut dulunya hanya
sebagai tempat kunjungan. Sekedar untuk mengetahui lebih dalam tekstur dalam
rumah. Namun, saat ini telah disewakan dengan tarif Rp. 200.000 per malam.
Fasilitas yg didapat adalah satu kamar tidur dilengkapi televisi dan dispenser
(pemanas air). Tepat di belakang museum juga disediakan kamar sewa. Ada
sebanyak empat kamar dengan harga bervariasi dari Rp.200.000 – Rp.400.000.
Setelah
selesai mengeksplore pustaka, kami melanjutkan perjalanan untuk melihat pasar
tradisional di Gunung Sitoli. Sebelum menuju kesana kami melihat dari dekat
Pelabuhan Gunung Sitoli. Hari itu cuaca sedang bagus. Teman saya, Pendra
langsung mengambil kamera dan memotret sana-sini. Pelabuhan ini merupakan
gerbang lainnya untuk memasuki Nias dan dari Sibolga. Ada tiga kapal sedang
mendarat di pelabuhan. Saat itu ombak sedang naik. Jeverson menjelaskan bahwa
jika ombak tinggi pasti sedang terjadi badai. Kami hanya menghabiskan waktu
sekitar 10 menit. Lokasi pelabuhan ini sangat dekat dengan Museum Pustaka Nias.
Bisa ditempuh dengan berjalan kaki dengan jarak sekitar 500 meter. Tarif untuk
naik kapal dari Sibolga-Nias sekitar Rp. 90.000 per orang dengan lama
perjalanan 1 malam.
Kami
lalu menyambangi pasar tradisional Beringin. Pasar ini sempat masuk berita di
awal tahun 2014. Puluhan kios terbakar karena hubungan arus pendek. Ketika kami
berkeliling di pasar Beringin keadaan sangat normal. Aktifitas di pasar
beringin ini di mulai pukul 15.00 wib hingga menjelang magrib. Rekan saya
mengabadikan momen seorang ibu berjualan ikan tongkol dipinggir jalan. Ia hanya
menggunakan ember dan menempatkan posisi ikan tegak dengan jumlah ikan sekitar
10 buah. Ikan tongkol ini merupakan hasil nelayan yang langsung di jual tanpa
ada perantara lain.
Dibawah
jembatan banyak kapal nelayan berlabuh. Ada sekitar 8 kapal nelayan yang
terlihat. Mereka menangkap ikan tongkol dengan metode jaring. Kapal juga tidak
berukuran besar. Masih sangat sederhana. Mata pencaharian masyarakat pesisir rata-rata
nelayan dan hasil tangkapan juga dijual langsung oleh istri nelayan. Lokasi
yang dekat pasar memudahkan mereka menjual ikan. Ikan tongkol dapat dibeli 1-2
ekor dengan harga Rp. 5.000 per ekor. Masyarakat Nias masih bergantung terhadap
pasar tradisional.
Pusat
perbelanjaan modern seperti mall tidak ada di Nias. Tidak hanya hasil laut,
masyarakat Nias juga bermata pencaharian petani. Hasil tanaman buah-buahan di
Nias adalah Durian, Pisang, Kuini, Mangga, dan langsat. Semua tergantung musim
kecuali untuk pisang. Pisang merupakan komoditi yang dijual hingga ke
Kalimantan. Pisang tumbuh dengan subur diperbukitan Nias. Namun, kami hanya
melihat buah Kuini kali ini di pasar. Harga 1 buah kuini Rp 2.500. Kualitas
buah kuini disini terbilang bagus. Kuini memang di panen sesuai dengan
kematangan tanpa ada bahan pengawet. Demikian
perjalanan tim ID Sumatera Utara hari pertama di Nias dan akan dilanjutkan esok
hari dengan mengunjungi Bawomataluo.